Hukum Menggunakan Azimah / Jimat Dalam Islam - di kutip oleh team Ruqyah Aswaja Kediri dari tulisan KH. Imron Rosyidi (Founder sekaligus Mu'jiz Keluarga Besar Ruqyah Aswaja / KBRA): Jimat dalam bahasa Arab adalah
Tamimah. Arti secara etimologinya adalah menjadi sempurna, kalau kita katakan
Tamma asy-Syaiu maka artinya bagian-bagian sesuatu itu menjadi sempurna. Jimat
ini berupa sesuatu perlindungan yang digantungkan kepada manusia. Seolah jimat
ini menjadi penyempurna proses kesembuhan yang dituntut. (lihat kitab Mu’jam
Miqyas al-Lughah; Ibnu Faris 1/339. Cetakan Maktabah al-Ilmiyyah)
Jimat
atau tamimah ini secara istilah mempunyai dua makna :
Pertama
: manik-manik yang konon kaum Arab menggantungkannya kepada anak-anak mereka
untuk melindungi mereka dari penyakit ‘ain menurut asumsi mereka, lalu
datanglah Islam membatalkan keyakinan semacam itu. (lihat kitab an-Nihayah fi
Gharib al-Hadits wa al-Atsar : 1/197. Cetakan Maktabah al-Ilmiyyah)
Kedua
: lembaran yang ditulisi ayat al-Quran, dan dikalungkan di leher misalnya,
untuk mengalap berkah. (Lihat kitab Hasyiah al-Jamal ‘ala syarh al-Manhaj;
1/76. Cetakan Dar al-Fikr)
Di
antara pokok akidah umat islam adalah tidak ada pengaruh independen bagi setiap
makhluk apapun. Barangsiapa yang meyakini adanya pengaruh independen bagi
selain Allah, maka ia telah jatuh pada kesyirikan. Apabila meyakini bahwa jimat
tidak membawa pengaruh secara independen, maka ada dua keadaan; adakalanya
berisi ayat al-Quran dan adakalanya bukan dari ayat al-Quran. Jimat yang bukan
dari ayat al-Quran, adakalanya berisi dari dzikir, wirid atau doa yang baik,
maka ini hukumnya boleh. Apabila berisi selain itu misalnya dari tholsamat atau
kalimat yang tidak bisa dipahami secara baik bahasa Arab atau bahasa lainnya,
maka hukumnya tidak boleh.
Adapun
jimat yang terdiri dari ayat al-Quran atau dzikir, wirid dan ucapan yang baik,
maka mayoritas ulama ahli fiqih dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafi’iyyah dan satu riwayat dari imam Ahmad menghukumi boleh menjadikan
gantungan (di leher atau sesuatu lainnya), mereka berdalil dengan firman Allah
Ta’ala :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (QS Al-Isra':82)
Imam
al-Qurthubi mengomentari ayat tersebut :
اختلف العلماء في كونه شفاء على قولين: أحدهما: أنه شفاء للقلوب بزوال الجهل عنها وإزالة الريب، ولكشف غطاء القلب من مرض الجهل لفهم المعجزات والأمور الدالة على الله تعالى. الثاني: شفاء من الأمراض الظاهرة بالرُّقى والتعوذ ونحوه
“Para
ulama berbeda pendapat tentang al-Quran sebagai obat, menjadi duap pendapat;
pertama al-Qurana dalah obat bagi hati dengan hilangnya kebodohan dan keraguan,
terbukanya penutup hati dari penyakit bodoh, sebab kepahaman mu’jizat dan
perkara-perkara yang menunjukkan atas Allah Ta’ala. Kedua al-Quran adalah obat
dari segala penyakit dhahir dengan cara ruqyah, ta’awwudz (dijadikan suatu
perlindungan) dan semisalnya “. (lihat kitab al-Jami’ li ahkam al-Quran :
10/316. Cetakan Dar al-Kutub al-Mishriyyah)
Sedangkan
tamimah atau jimat termasuk bentuk ta’awwudz yang ditulis, maka hukumnya boleh
menggunakannya atau menggantungkannya dengan niat keberkahan, karena Allah
Ta’ala berfirman :
هَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“
Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah
dia dan bertakwalah agar kalian dirahmati.” (QS. Al-‘An’am : 155)
Beberapa
ulama wahabi di antaranya Ibnu Baz mengharamkannya secara muthlaq baik
digantungkan atau tidak meskipun berisi ayat al-Quran. Ia berdalil dengan
beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya :
إن الرقى والتمائم والتولة شرك
“
Sesungguhnya ruqyah, jimat dan tiwalah adalah syirik “
Jika
jimat diharamkan berdasarkan hadits ini, berarti ruqyah juga diharamkan secara
muthlaq ? kenapa banyak ulama wahabi sekarang yang juga melakukan praktek
ruqyah ? Ibnu Baz berdalih lagi bahwa ruqyah itu ada pengecualian, artinya ada
ruqyah yang dilarang ada ruqyah yang diharamkan.
Benarkan hujjah Ibn Baz itu ? benarkah tamimah atau jimat tidak ada
pengecualiannya dan muthlaq keharamannya ? kita buktikan..
Diriwayatkan
dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila dari isa saudaranya, ia berkata;
دخلت على عبد الله بن عكيم أبي معبد الجهني أعوده وبه حمرة فقلنا: ألا تعلق شيئًا؟ قال: الموت أقرب من ذلك، قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“
Aku datang kepada Abdullah bin Akim Abi Ma’bad al-Jahni menjenguknya yangs
sedang sakit panas, maka kami katakan padanya, “ Tidakkah kamu menggantungkan
sesuatu saja ? “, ia menjawab, “ kematian lebih dekat dari itu “. Maka Nabi
shallallahu ‘alaihiw wa sallam bersabda, “ Barangsiapa yang menggantungkan
sesuatu, maka diwakilkan padanya “. (HR. Ahmad, al-Hakim danTurmudzi)
Imam
al-Qurthubi mengomentari maksuda perkataan Nabi tersebut :
فمن علَّق القرآن ينبغي أن يتولاه الله ولا يَكِله إلى غيره؛ لأنه تعالى هو المرغوب إليه والمتوكل عليه في الاستشفاء بالقرآن
“
Maka siapa yang menggantungkan al-Quran sebaiknya ia menjadikan Allah sebagian
wakilnya dan tidak mewakilkan kepada selain-Nya, karena Allah Ta’ala lah yang
menjadi harapan dan tempat sandaran di dalam berobat dengan al-Quran “. (lihat
al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi : 10/320)
Artinya
beliau membolehkan menggantungkan jimat yang terdiri dari ayat al-Quran asalkan
tetap bersandar kepada Allah.
Diriwayatkan juga dari ‘amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا فَزِعَ أَحَدُكُمْ فِي النَّوْمِ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ؛ فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ
“
Jika seorang diantara kalian merasa takut di dalam tidurnya, maka ucapkanlah :
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
Maka
gangguan-gangguan setan tidak akan membahayakannya “. Ia berkata; “ Dahulu
Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhuma mengajarkannya kepada anaknya yang sudah
baligh dan menulisnya untuk yang belum baligh di sebuah lembaran lalu
digantungkan di lehernya “. (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Dalam
kitab hadits Mushannaf Ibnu Abi Syaibah :
أن سعيد بن المسيب سئل عن التعويذ فقال: "لا بأس إذا كان في أديم"،
وعن عطاء قال: "لا بأس أن يعلق القرآن"، وكان مجاهد يكتب للناس التعويذ فيعلقه عليهم، وعن الضحاك أنه لم يكن يرى بأسًا أن يعلق الرجل الشيء من كتاب الله إذا وضعه عند الغسل وعند الغائط، ورخَّص أبو جعفر محمد بن علي في التعويذ بأن يُعلق على الصبيان، وكان ابن سيرين لا يرى بأسًا بالشيء من القرآن.
وعن عطاء قال: "لا بأس أن يعلق القرآن"، وكان مجاهد يكتب للناس التعويذ فيعلقه عليهم، وعن الضحاك أنه لم يكن يرى بأسًا أن يعلق الرجل الشيء من كتاب الله إذا وضعه عند الغسل وعند الغائط، ورخَّص أبو جعفر محمد بن علي في التعويذ بأن يُعلق على الصبيان، وكان ابن سيرين لا يرى بأسًا بالشيء من القرآن.
“
Bahwasanya Said bin Musayyib ditanya tentang ta’widz (sesuati yang dijadikan
perlindungan), maka beliau menjawab; “ tidak mengapa jika (ditulis) pada kulit
“. Dari Atha’ ia berkata, “ tidak mengapa menggantunkan (jimat) yang terdiri
dari ayat al-Quran “. Dahulu Mujahid menulis ta’widz untuk orang-orang lalu
menjadikannya gantungan leher pada mereka “. Dari Ad-Dhahhak ia berpendapat,”
bahwasanya tidaklah mengapa sesorang membuat jimat gantungan dari kitab Allah
apabila diletakkan ketika hendak mandi atau buang air besar “. Abu Jakfar
Muhammad bin Ali membolehkan jimat gantungan pada anak kecil. Ibnu Sirin juga
bependapat tidaklah mengapa membuat jimat dengan al-Quran “. (lihat Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah; 5/43-44)
Dari
riwayat-riwayat hadits ini sangat jelas, membolehkan menggantungkan jimat yang
terdiri dari ayat al-Quran atau dzikir ataupun doa yang baik. Dan menjadi
pengecualian dari jimat. Artinya ada jimat yang dilarang dan ada jimat yang
diperbolehkan bahkan digantungkan pada leher hukumnya juga boleh.
Mayoritas
ulama pun memperbolehkannya :
Dalam kitab Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani disebutkan :
ولا بأس بالمُعاذة) وهي التمائم -والتمائم الحروز- التي (تعلق) في العنق (وفيها القرآن) وسواء في ذلك المريض، والصحيح، والجنب، والحائض، والنفساء، والبهائم بعد جعلها فيما يكنها]. اهـ، ففُهم من ذلك أن ما كان من القرآن جائز إذا جُعل في شيء يحفظه.
“
Tidaklah mengapa dengan jimat yang digantungkan di leher dan di dalamnya berisi
ayat al-Quran, baik diperuntukkan untuk yang sakit, sehat, junub, haid, nifas
ataupun binatang setelah dibungkus sebagai pengamannya “. (lihat Kifayah
ath-Tahlib ar-Rabbani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani : 2/492. Cetakan
Dar al-Fikr)
Bisa
kita pahami bahwa jimat yang berisi ayat al-Quran hukumnya boleh jika dibungkus
dengan sesuatu yang menjaganya.
Imam
Malik mengatakan :
لا بأس بتعليق الكتب التي فيها أسماء الله عز وجل على أعناق المرضى على وجه التبرك
“
Tidaklah mengapa menggantungkan tulisan yang berisi asma Allah Ta’ala di
leher-leher orang yang sakit atas dasar tabarruk (ngalap berkah) “. (lihat
al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi : 10/319)
Imam
an-Nawawi dalam kitab Majmu’nya menyebutkan hadits :
من علَّق تميمة فلا أتم الله له، ومن علَّق ودعة فلا ودع الله له
“
Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan hajatnya,
dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah ta’ala
tidak akan memberikan ketenangan kepadanya."
Lalu menukil komentar imam al-Baihaqi sebagai berikut :
ان النهي راجع إلى معنى ما قال أبو عبيد- أي: ما كان بغير العربية بما لا يدري ما هو- ثم قال -أي البيهقي-: وقد يحتمل أن يكون ذلك وما أشبهه من النهي والكراهة فيمن يعلقها وهو يرى تـمام العافية وزوال العلة بـها على ما كانت عليه الجاهلية، أما من يعلقها متبركًا بذكر الله تعالى فيها وهو يعلم أن لا كاشف له إلا الله ولا دافع عنه سواه، فلا بأس بـها إن شاء الله تعالى
“
Sesungguhnya dalam hadits itu yang dilarang adalah kembali pada apa yang
dikatakan oleh Abu Ubaid, “ yang dilarang adalah yang selain bahasa Arab yang
tidak dapat dipahami maknanya “, kemudian imam Baihaqi mengatakan, “ Terkadang
dimungkinkan sifat yang terlarang dan makruh adalah bagi orang yang
menggantungkannya dan berpandangan akan mendapat kesempurnaan afiat dan
hilangnya penyakit dengan jimat tersebut yang juga diasumsikan konon pada masa
jahiliyyah. Adapun orang yang menggantungkannya dengan niat ngalap berkah
dengan dzikir Allah Ta’ala di dalamnya dan dia mengetahui bahwa tidak ada yang
mampu menyingkap penyakit kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat menolak
bahaya kecuali Allah, maka tidaklah mengapa yang demikian itu insya Allah “.
(al-Majmu’, imam Nawawi : 9/66. Cetakan Dar al-Fikr)
Imam
Nawawi pun tidak mengomentari hujjah imam Baihaqi tersebut tanda, tidak adanya
penolakan dari imam Nawawi akan hal ini dan setuju dengan komentar imam Baihaqi
tersebut.
Al-Hafidz
ibnu Hajar mengatakan dalam hal ini setelah menyebutkan hadits-hadits tentang
larangan menggantungkan jimat :
هذا كله في تعليق التمائم وغيرها مما ليس فيه قرآن ونحوه، فأما ما فيه ذكر الله فلا نـهي فيه؛ فإنه إنـما يجعل للتبرك به والتعوذ بأسـمائه وذكره
“
Semua ini dalam hal menggantungkan jimat dan selainnya yang tidak berisi ayat
al-Quran dan semisalnya. Adapun yang berisi dzikir kepada Allah, maka tidaklah
terlarang. Karena sesungguhnya hal itu hanyalah dijadikan untuk mengambil
berkah saja dan berta’awwudz dengan asama Allah dan dzikir kepada-Nya “. (lihat
Fath al-Bari syarh Sahih al-Bukhari : 6/142. Cetakan Dar al-Ma’rifah)
Al-Qadhi
Abu Ya’la ulama dari kalangan Hanabilah mengatakan :
يجوز حمل الأخبار- أي الـمانعة- على اختلاف حالين، فنهى إذا كان يعتقد أنـها النافعة له والدافعة عنه، وهذا لا يجوز؛ لأن النافع هو الله. والموضع الذي أجازه إذا اعتقد أن الله هو النافع والدافع. ولعل هذا خرج على عادة الجاهلية، كما تعتقد أن الدهر يغيرهم فكانوا يسبونه
يجوز حمل الأخبار- أي الـمانعة- على اختلاف حالين، فنهى إذا كان يعتقد أنـها النافعة له والدافعة عنه، وهذا لا يجوز؛ لأن النافع هو الله. والموضع الذي أجازه إذا اعتقد أن الله هو النافع والدافع. ولعل هذا خرج على عادة الجاهلية، كما تعتقد أن الدهر يغيرهم فكانوا يسبونه
“
Boleh hukumnya membawa jimat, ini ada dua keadaan; pertama dilarang jika
meyakini jimat itu yang membawa manfaat dan menolak bahaya, ini tidak boleh,
karena yang memberi manfaat adalah Allah. Dan tempat diperbolehkannya jimat,
adalah jika meyakini bahwa Allah lah yang memberi manfaat dan menolak bahaya.
Hal ini keluar dari kebiasaan jahiliyyah, sebagaimana kaum jahiliyyah meyakini
bahwa tahun bisa merubah nasib baik mereka sehingga mereka mencacinya “. (lihat
Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, al-Bahuti : 2/77. Cetakan Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah )
Wahai
saudaraku, sudah jelas dan terang hujjah dalam hal ini. Bahwa mayoritas ulama
sepakat membolehkan jimat yang ditulis dengan ayat al-Quran atau dzikir, wirid
dan doa yang baik yang dipahami maknanya, digantungkan di leher ataupun tidak.
Asalkan berkeyakinan bahwa Allah lah yang memberi manfaat dan menolak bahaya.
Jimat yang berisi ayat al-Quran, dzikir, wirid dan doa hanyalah sebagai wasilah
mengalap berkah dari Allah Ta’ala sebab itu semua.
Jika
mereka kaum primitif, masih saja menghukumi syirik dan pelakuknya musyrik, maka
sungguh telah bathar ‘anil haq (menentang kebenaran) dan fanatik buta terhadap
pemahaman yang dianutnya. Jika kalian mengikuti pemahaman Ibn Baz dan ulama
yang sealiran dengannya dalm hal ini, silahkan saja kamipun tidak melarangnya,
akan tetapi kami juga memiliki hujjah-hujjah yang kuat yang menjadi sandaran
kami dalam hal ini. Tidak ada haq kalian melarang-larang kami apalagi sampai
memvonis kami pelaku syirik. Semoga bermanfaat.
Sumber asli ada di sini